PEMBAHASAN
2.1 Teknik Penyiaran
Perkembangan
teknologi komunikasi telah melahirkan masyarakat yang makin besar tuntutannya
akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah
menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam
kehidupan masyarakat.
Perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi telah membawa implikasi terhadap dunia
penyiaran, termasuk penyiaran di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur
informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya semakin strategis, terutama
dalam mengembangkan kehidupan demokratis.
Penyelenggaraan
penyiaraan tentunya tidak terlepas dari kaidah-kaidah umum penyelenggaraan
telekomunikasi yang berlaku secara universal. Penyiaran mempunyai kaitan erat
dengan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit geostasioner yang merupakan
sumber daya alam yang terbatas sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara
efektif dan efisien.
` Dalam bab ini akan dibahas beberapa
prinsip dasar teknis penyiaran yaitu jenis-jenis layanan siaran yang umumnya
digunakan saat ini yang meliputi pengertian mengenai radio AM, radio FM, radio
gelombang pendek (SW), televisi VHF dan televisi UHF. Namun sebelumnya kita
perlu terlebih dahulu memahami pengertian singkat mengenai siaran, penyiaran
dan hal apa saja yang menjadi syarat terjadinya penyiaran.
Kata
‘siaran’ merupakan padanan dari kata broadcast dalam bahasa Inggris.
Undang-undang Penyiaran memberikan pengertian siaran sebagai pesan atau
rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang
berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang
dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.[1]
Sementara
penyiaran yang merupakan padanan kata broadcasting memiliki pengertian sebagai:
kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana
transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum
frekuensi radio (sinyal radio) yang berbentuk gelombang elektromagnetik[2] yang
merambat melalui udara, kabel, dan atau media lainnya untuk dapat diterima
secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima
siaran.[3]
Dengan
demikian menurut definisi di atas maka terdapat lima syarat mutlak yang harus
dipenuhi untuk dapat terjadinya penyiaran. Jika salah satu syarat tidak ada
maka tidak dapat disebut penyiaran. Kelima syarat itu jika diurut berdasarkan
apa yang pertama kali harus diadakan adalah sebagai berikut:
1. Harus
tersedia spektrum frekuensi radio
2. Harus ada
sarana pemancaran/transmisi
3. Harus adanya
perangkat penerima siaran (receiver)
4. Harus adanya
siaran (program atau acara)
5. Harus dapat
diterima secara serentak/bersamaan
Dari
kelima syarat penyiaran tersebut di atas hanya poin ke lima yang tidak kita
bahas dalam buku ini karena hal tersebut sudah sangat jelas yaitu bahwa
penyiaran harus dapat diterima secara serentak. Pada bab mengenai teknik
penyiaran ini kita akan membahas tiga hal dari lima syarat penyiaran tersebut
di atas yaitu mengenai spektrum frekuensi radio, sarana pemancaran atau
transmisi dan perangkat penerimaan penyiaran. Sedangkan mengenai siaran atau
program akan dibahas di bab tersendiri di buku ini yaitu mengenai program. Kita
mulai pembahasan dengan spektrum frekuensi radio.
Stasiun Relay
Hukum alam menghendaki bahwa
sebuah pemancar, betapapun besar daya pancarnya, memiliki jarak jangkau yang
terbatas. RCTI misalnya, meskipun daya pancarnya sudah cukup besar (60 ribu
watt) tetapi di kota Merak yang jaraknya hanya sekitar seratus kilometer dari
Jakarta, siaran RCTI sudah sulit diterima dengan jelas. Kalau begitu bagaimana
mungkin seseorang yang berada di Irian yang jaraknya lebih dari seribu
kilometer dari Jakarta mampu menangkap siaran RCTI? Kenyataannya, banyak
masyarakat di Irian yang bisa menerima siaran RCTI dengan baik. Lalu bagaimana
caranya?
Caranya ialah dengan
menggunakan Stasiun Relay. Setiap stasiun TV swasta nasional memiliki perangkat
Up-Link yang berfungsi untuk memancarkan siarannya ke arah satelit. Kemudian
oleh satelit siaran itu dipancarkan balik ke bumi dengan wilayah cakupan (foot
print) yang sangat luas. Sinyal yang dipancarkan oleh satelit ini kemudian
dengan mudah bisa ditangkap dengan menggunakan peralatan yang disebut TVRO
(Television Receive Only).
Satu set TVRO terdiri dari: Antena
Parabola, LNB, dan Satellite Receiver. Berhubung bagian yang paling menonjol
adalah antena parabolanya, maka orang awam sering menyebut TVRO dengan sebutan
Parabola saja. Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa untuk menerima siaran TV
itu harus menggunakan Parabola? Ya, karena sinyal dari satelit yang sampai di
bumi sangatlah lemah, sehingga perlu antena yang besar untuk menangkapnya.
Antena yang besar ini kemudian didesain sedemikian rupa sehingga sinyal yang
ditangkap dapat dikumpulkan ke satu titik yang disebut dengan titik api. Di
titik api inilah kemudian sinyal yang masih lemah ini diperkuat lagi
menggunakan sebuah amplifier.
Amplifier yang digunakan
noisenya harus sangat rendah. Amplifier yang seperti ini disebut Low Noise
Amplifier (LNA). Tapi mengapa harus low noise? Karena setiap amplifier disusun
dari rangkaian penguat yang bertingkat-tingkat. Di setiap tingkat akan selalu
muncul noise yang berasal dari dalam penguat itu sendiri. Noise yang muncul di
tingkat pertama pasti akan diperkuat oleh penguat tingkat kedua, ketiga dan
seterusnya. Jadi makin besar noise yang dihasilkan dari dalam penguat itu
sendiri akan menjadi besar pula di tingkat paling akhir. Oleh karena itu noise
yang muncul haruslah sangat rendah. Jika tidak, yang diperkuat bukannya sinyal
input, tetapi malah noise itu sendiri. Jadi dengan amplifier yang low noise
sinyal input bisa diperkuat dengan sedikit sekali tambahan noise. Kini sudah
banyak LNA dengan noise yang sangat rendah (20 derajad Kelvin) sementara faktor
penguatannya sangat besar (60 dB). Gain yang besar dan noise yang rendah
merupakan syarat ideal untuk sebuah LNA.
Setalah sinyal dari satelit
yang lemah tadi diperkuat oleh LNA, maka sinyal menjadi cukup kuat untuk di
geser frekuensinya. Ssinyal dari satelit yang semula frekuensinya 3,7 - 4,2 GHz
(C-band) digesar frekuensinya menjadi 950 - 1.450 kHz (L-band) dengan
menggunakan osilator lokal 5.15 GHz. Penggesaran frekuensi dari C-band ke L-band ini dilakukan di
dalam blok LNA, sehingga rangkaian LNA berikut rangkaian penggeseran frekuensi
ini kemudian disebut dengan Low Noise Blok Amplifier (disingkat menjadi LNB).
Pengeseran frekuensi dari C-band ke L-band dimaksudkan agar sinyal tersebut
dapat disalurkan melalui kabel coaxial yang lebih panjang. Melalui kabel
coaxial inilah sinyal tersebut kemudian dihubungkan ke pesawat penerima satelit
atau IRD (Integrated Receiver Decoder). Penerima satelit umumnya diletakkan di
dalam ruang (indoor) sedangkan LNB diletakkan di luar ruang (outdoor). Itulah
sebabnya diperlukan kabel coaxial yang cukup panjunga untuk menghubungkan
keduanya. Di dalam pesawat penerima, sinyal diperkuat lagi, digeser
frekuensinya lagi dan di-demodulasi sehingga akhirnya menghasilkan sinyal audio
dan video. Sinyal audio-video inilah yang kemudian di masukkan ke input
pemancar dan selanjutnya dipancarkan agar bisa diterima oleh pesawat penerima
televisi biasa. Itulah secara garis besar cara kerja dari sebuah Stasiun Relay
TV.
Gambar (1): Diagram stasiun relay TV
melalui satelit
Jangkauan Pemancar TV tidak
seluas jangkauan satelit. Pemancar TV rata-rata hanya bisa menjangkau wilayah
dalam radius sekitar 100 km, sedangkan satelit bisa menjangkau wilayah ribuan
kilometer persegi. Satelit Palapa-D misalnya, bisa menjangkau seluruh Indonesia
dan bahkan negara-negara tetangga seperti: Malaysia, Singapura, Brunei,
Philipina, Thailand, Papua Nugini dan sebagian wilayah Australia. Itulah sebabnya TV nasional yang
siaranya juga di up-link ke satelit bisa diterima di negara-negara tersebut
dengan menggunakan TVRO.
Bila materi siaran memiliki
hak cipta, misalnya film-film Hollywood, sedangkan hak siar yang dimiliki oleh
stasiun TV hanya untuk wilayah Indonesia saja, maka materi siaran itu tidak
boleh disiarkan ke negara-negara tetangga. Padahal pancaran sinyal dari satelit
sudah pasti akan menjangkau negara-negara tetangga itu. Itulah sebabnya khusus
untuk materi siaran yang memiliki hak cipta seperti itu, sinyal up link sengaja
diacak (scrambled). Akibatnya siaran tersebut tidak bisa diterima oleh TVRO
biasa. Hanya pesawat penerima (IRD) yang dilengkapi dengan fasilitas anti acak
(de-scrambling) saja yang bisa menerimanya. Dengan kata lain hanya stasiun
relay TV saja yang bisa menerima siaran itu, karena IRD-nya sudah dilengkapi
dengan kartu de-scrambling. Stasiun relay kemudian akan memancarkan materi
siaran itu ke wilayah jangkauannya. Jadi wilayah-wilayah yang berada di luar
jangkauannya tidak akan bisa menerima materi siaran itu meskipun sudah memiliki
parabola (TVRO). Demikian juga di negara-negara tetangga. Walaupun sudah
memiliki parabola (TVRO) tetapi negara-negara tetangga tetap tidak bisa
menerima siaran itu karena sinyalnya di acak.
[1] Lihat
Ketentuan Umum, Pasal 1, Undang-undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
[2] Michael
Faraday (1791-1867) dan James Clerk Maxwell (1831-1979) adalah dua ilmuwan asal
Inggris yang mempelajari gelombang elektromagnetik yang merupakan gelombang
untuk mengirim gambar dan suara dari satu tempat ke tempat lain. Sarjana Jerman
Heinrich Rudolf Hertz (1857-1894) adalah ilmuwan pertama yang sukses melakukan
percobaan transmisi gelombang elektromagnetik, walau masih dalam jarak
terbatas. Namun lewat tangan ilmuwan Italia Guglielmo Marconi (1874 – 1937)
sinyal radio sukses dikirim menyeberangi Samudera Atlantik pada tahun 1901.
Lihat bab sejarah media penyiaran.
[3] Pasal 1,
Undang-undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
2.2 Frekuensi
REGULASI FREKUENSI
Spektrum
Frekuensi Radio merupakan sumber daya alam yang terbatas yang mempunyai nilai strategis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan dikuasi oleh
negara. Pemanfaatan Spektrum Frekuensi Radio sebagai sumber daya alam tersebut
perlu dilakukan secara tertib, efisien dan sesuai dengan peruntukannya sehingga
tidak menimbulkan gangguan yang merugikan.
Spektrum Frekuensi
Radio adalah susunan pita frekuensi radio yang mempunyai frekuensi lebih kecil
dari 3000 Ghz sebagai satuan getaran gelombang elektromagnetik merambat dan
terdapat dalam dirgantara (ruang udara dan antariksa). Alokasi Spektrum
Frekuensi Radio Indonesia ditetapkan dengan mengacu kepada alokasi Spektrum
Frekuensi Radio Internasional untuk wilayah 3 ( region 3 ) sesuai Peraturan
Radio yang ditetapkan oleh Himpunan Telekomunikasi Internasional ( ITU ). Tabel
alokasi frekuensi nasional Indonesia disusun berdasarkan hasil Final Act World
Radio Communication Conference-1997 yang berlangsung di Jenewa, pada bulan
November 1997.
Alokasi Spektrum
Frekuensi Radio Indonesia diambil dari referensi-referensi berikut ini :
Artikel S5, Frequency
Allocation, Radio Regulation dan Final Act-World Radiocommunication Conference
(WRC)-1997, International Telecommunication Union (ITU), Tabel Alokasi telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Tabel Alokasi Spektrum
Frekuensi Radio Indonesia, edisi pertama, 1996
Penetapan Frekuensi
Maritim, Penerbangan dan Siaran di Indonesia
Penetapan Frekuensi
Dinas Tetap di Indonesia
Database AFMS
(Automated Frequency Management System).
Sebagai catatan bahwa
pada tabel ini tidak mencakup penggunaan spektrum frekuensi radio untuk
kepentingan militer.
REGULASI STANDARDISASI
Standardisasi sebagai
suatu unsur penunjang pembangunan mempunyai peran penting dalam usaha optimasi pendayagunaan
sumber daya dan seluruh kegiatan pembangunan. Perangkat standardisasi termasuk
juga perangkat pembinaan dan pengawasan sangat berperan dalam peningkatan
perdagangan dalam negeri dan internasional, pengembangan industri nasional,
serta perlindungan terhadap pemakai (operator maupun masyarakat)
Tujuan akhir kegiatan
standardisasi adalah terwujudnya jaminan mutu. Dengan demikian standardisasi
dapat digunakan sebagai alat kebijakan pemerintah untuk menata struktur ekonomi
secara lebih baik dan memberikan perlindungan kepada umum.
Standardisasi juga
digunakan oleh Pemerintah untuk menunjang tercapainya tujuan-tujuan strategis
antara lain peningkatan ekspor, peningkatan daya saing produk dalam negeri
terhadap barang-barang impor, dan peningkatan efisiensi nasional.
Sistem Standardisasi
Nasional (SSN) merupakan dasar dan pedoman pelaksanaan setiap kegiatan
standardisasi di Indonesia yang harus diacu oleh semua instansi teknis sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standardisasi Nasional
Indonesia dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan,
Penerapan dan Pengawasan Standardisasi Nasional Indonesia. Dalam rangka
mewujudkan pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional, juga dilakukan
pengembangan dan penerapan Sistem Standardisasi Nasional, juga dilakukan
pengembangan dan penerapan standardisasi di bidang pos dan telekomunikasi.
Kegiatan standardisasi
di bidang pos dan telekomunikasi sepenuhnya ditangani oleh instansi teknis,
dalam hal ini adalah DIREKTORAT JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI yang dalam hal
ini dilaksanakan oleh Direktorat Standardisasi Pos dan Telekomunikasi melalui rujukan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
KM.58 tahun 1998 tentang Uraian Tugas Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi. Dan dalam pelaksanaannya, kegiatan standardisasi ini
dilaksanakan oleh Direktorat Standardisasi Pos dan Telekomunikasi.
Subsistem-subsistem
atau kegiatan-kegiatan yang saling terkait satu sama lain dalam Sistem
Standardisasi Nasional terdiri dari perumusan standardisasi, penerapan
standardisasi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerjasama dan informasi
standardisasi, metrologi dan akreditasi.
Tujuan
dari kegiatan standardisasi pos dan telekomunikasi adalah :
Pengamanan
terhadap jaringan pos dan telekomunikasi, yang merupakan aset nasional.
Menjamin
interoperabilitas dan interkonektivitas berbagai perangkat dalam jaringan pos
dan telekomunikasi.
Memberi
kesempatan munculnya industri manufaktur nasional.
Memberi
perlindungan terhadap para pengguna jasa (operator dan masyarakat) pos dan
telekomunikasi.
Mengendalikan
mutu perangkat.
Memberi
kesempatan produk nasional bersaing di pasar global.
Perumusan Direktorat Standardisasi Pos &
Telekomunikasi
Perumusan
Standardisasi Perangkat Telekomunikasi meliputi :
Persyaratan
Teknis.
Rancangan
Standardisasi Nasional Indonesia (SNI)
Daya
Laku Bersifat Sektoral
Instansi
Teknis Yang Memprakarsai RSNI Membantu BSN Dalam Perumusan Rancangan Dimaksud.
Daya
Laku Bersifat Nasional
Persyaratan
Teknis :
Merupakan
persyaratan-persyaratan teknis perangkat yang mengacu pada standardisasi
Internasional (MIS.ITU, IEC/ISO, ETSI, dll).
Rancangan
SNI :
Merupakan
rancangan yang disusun bersama instansi terkait yang berkepentingan sampai
tercapainya kosensus.
Daftar Persyaratan Teknis Perangkat SNI/KEPDIR Alat /
Perangkat Postel
NO.
|
JUDUL PERSYARATAN TEKNIS/STANDARDISASI
|
NOMOR KODE
|
1
|
Kabel
Serat Optik SLMT untuk Aplikasi di Udara
|
70/DIRJEN/99
|
2
|
Pesawat
Telepon Umum Kartu Smart
|
57/DIRJEN/99
|
3
|
Digital
Loop Carrier
|
58/DIRJEN/99
|
4
|
Pencatat
Data Pembicaraan Telepon (PDPT)
|
59/DIRJEN/99
|
5
|
Perangkat
Jarlokar CDMA (1895)
|
60/DIRJEN/99
|
6
|
Pesawat
Sistem Telepon Kunci (KTS)
|
61/DIRJEN/99
|
7
|
PABX/ISDN
|
65/DIRJEN/99
|
8
|
Perangkat
Sistem PABX/STLO
|
004/DIRJEN/99
|
9
|
Pesawat
Telepon Umum Multi Koin
|
005/DIRJEN/99
|
10
|
Pesawat
Telepon Analog
|
006/DIRJEN/99
|
11
|
Pesawat
Reetifier
|
179/DIRJEN/98
|
12
|
Perangkat
Pesawat Telepon Seluler NMT 450
|
180/DIRJEN/98
|
13
|
Perangkat
Pesawat Telepon Seluler GSM
|
181/DIRJEN/98
|
14
|
Perangkat
Pesawat Telepon Seluler AMPS
|
182/DIRJEN/98
|
15
|
Akses
Radio
|
44/DIRJEN/98
|
16
|
STBS
CDMA
|
47/DIRJEN/98
|
17
|
Wireless
LAN
|
58/DIRJEN/98
|
18
|
PHS
System
|
138/DIRJEN/97
|
19
|
Ketentuan
Teknis Instalansi Kabel Rumah/Gedung (IKR/G)
|
22/DIRJEN/96
|
20
|
Pedoman
Teknis Instalasi Kabel Rumah (IKR)
|
57/DIRJEN/96
|
21
|
Sentral
Telepon Digital Kapasitas 5000 Subsriber
|
258/DIRJEN/
|
22
|
Handheld/Portable
Trunking
|
03/DIRJEN/96
|
23
|
TTKP
(Cordless Telephone)
|
130/DIRJEN/95
|
24
|
Facsimile
|
SNI
04-3508-1994
|
25
|
Modem
Stand Alone
|
SNI
04-3509-1994
|
26
|
Kabel
Tanah T Perisai, Berisolasi & Berselubung (PDPDLPE)
|
SNI
04-3633-1994
|
27
|
Telephone
Otomat
|
SNI
04-2021-1991
|
28
|
Perangkat
Pengganda Saluran AM
|
SNI
04-2380/1991
|
29
|
Perangkat
Pengganda Saluran FM
|
SNI-2381-1991
|
30
|
Perangkat
Pengganda Digital
|
SNI
04-2382-1991
|
31
|
Teleprinter
|
SNI
04-2009-1990
|
32
|
Kabel
Telepon Tanah Tanpa Perisai Berisolasi PBB & BPBK Jeli
|
SNI
04-2012-1990
|
33
|
Saluran
Penanggal Atas Tanah dengan Penggantung Kawat Baja
|
SNI
04-2066-1990
|
34
|
Kabel
Tanah Tanpa Perisai Berisolasi & BPBP
|
SNI
04-2070-1990
|
35
|
Tiang
Telepon Besi Enam Meter
|
SNI
04-2072-1990
|
36
|
Tiang
Telepon Besi Tujuh Meter
|
SNI
04-2073-1990
|
37
|
Tiang
Telepon Besi Sembilan Meter
|
SNI
04-2075-1990
|
38
|
Kabel
Rumah Berisolasi dan Berselubung PVC
|
SNI
04-2076-1990
|
39
|
Kabel
Telepon Rumah Berpelindung FB dan Berselubung PVC
|
SNI
04-2077-1990
|
40
|
Kabel
Rumah BL Timah Putih,
|
SNI
04-2081-1990
|
41
|
Kabel
Rumah Tiga Urat
|
SNI
04-2091-1990
|
42
|
Pesawat
telepon Umum Coin (PTUMC)
|
89/POSTEL/90
|
43
|
VHF/UHF
Radio dengan FM untuk Land Mobile Services
|
57/POSTEL/90
|
44
|
Frequeney
Divisiom Multiplex Telegrap
|
72/POSTEL/90
|
45
|
Pesawat
Teleprinter Elektronik
|
65/POSTEL/90
|
46
|
Pesawat
Akomex (Adaptor Komputer-Telex)
|
66/POSTEL/90
|
47
|
Batere
Alkali Nikel Kadmium Stasioner U Catu Daya CC-D
|
53/POSTEL/90
|
48
|
Sistem
Pentanahan Perangkat Telekomunikasi
|
51/POSTEL/90
|
49
|
Pipa
Potong dan Kelengkapannya
|
43/POSTEL/90
|
50
|
Kotak
Pembagi Dalam (KPD)
|
33/POSTEL/90
|
51
|
Kabel
Penanggal Bawah Tanah Berisi Petrojeli
|
25/POSTEL/90
|
52
|
Kabel
Rumah BTLTP Berisolasi dan B.PVC
|
20/POSTEL/90
|
53
|
Kabel
Tanah B.B dan Berselubung PBP
|
7/POSTEL/90
|
54
|
Pedoman
Item Uji Alat/Perangkat Komunikasi Radio
|
007/DIRJEN/1999
|
55
|
Persyaratan
Teknis Perangkat Amatir Radio
|
80/DIRJEN/1999
|
56
|
Persyaratan
Teknis Perangkat Radio Komunikasi SSB/HF
|
84/DIRJEN/1999
|
57
|
Persyaratan
Teknis Perangkat Radio Siaran
|
85/DIRJEN/1999
|
58
|
Persyaratan
Teknis Perangkat Telepon Tanpa Kabel Umum
|
86/DIRJEN/1999
|
59
|
Penetapan
Penggunaan Frekuensi Radio Untuk Penyelenggaraan Jasa Telekom Satelit MSS
|
013/DIRJEN/1998
|
Penerapan
Penerapan
Standardisasi merupakan kegiatan sertifikasi perangkat telekomunikasi yang
dilaksanakan untuk mengetahui kesesuaian perangkat telekomunikasi dengan
persyaratan teknis yang berlaku.
Tahapan
kegiatan sertifikasi : 1. Pemeriksaan persyaratan 2. Pengujian 3. Evaluasi
4. Penerbitan Sertifikat
2.4
Analisis
Stasiun TVRI
PENGGUNAAN
PEMANCAR VHF OLEH TVRI
Berdasarkan peraturan internasional yang berkaitan dengan pengaturan penggunaan frekwensi (Radio Regulation) untuk penyiaran televisi pada pita frekwensi VHF dan UHF.
Sesuai dengan sistem pertelevisian yang dianaut oleh indonesia yaitu CCIR B dan G maka penggunaan frekwensi tersebut telah diatur sebagai berikut :
VHF band I : saluran 2 dan 3VHF band III : saluran 4 s/d 11VHF band IV : saluran 21 s/d 37VHF band V : saluran 38 s/d 70
Sejarah pertelevisian di Indonesia diawali pada tahun 1962 oleh TVRI di Jakarta dengan menggunakan pemancar televisi VHF. Pembangunan pemancar TVRI berjalan dengan cepat terutama setelah diluncurkannya satelite palapa pada tahun 1975. Pada tahun 1987, yaitu lahirnya stasiun penyiaran televisi swasta pertama di Indonesia, stasiun pemancar TVRI telah mencapai jumlah kurang lebih 200 stasiun pemancar yang keseluruhannya menggunakan frekwensi VHF, dan pemancar TV swasta pertama tersebut diberikan alokasi frekwensi pada pita UHF.
Kebijaksanaan penggunaan pita frekwensi VHF untuk TVRI dan UHF untuk swasta pada saat itu dilakukan dengan beberapa pertimbangan yang menguntungkan negara sebagai berikut :
Jumlah saluran TV pada pita VHF yang jumlahnya hanya 10 saluran hampir seluruhnya telah digunakan untuk 200 stasiun pemancar terutama di pulau Jawa, maka pemancar TV swasta yang pertama dan berlokasi di Jakarta dialokasikan pada pita frekwensi UHF.
Pemancar VHF lebih ekonomis dan tidak berbeda kualitasnya dengan pemancar TV UHF sangat cocok untuk stasiun penyiaran pemerintah yang terbatas dana pembangunannya.
Kesinambungan pemeliharaan dan penggantian pemancar TVRI yang 70% adalah buatan LEN sangat didukung oleh hasil produksi LEN yang belum memproduksi pemancar UHF.
TVRI terus memperluas jangkauannya sampai ke pelosok tanah air dimana saat itu masih banyak masyarakat di daerah yang belum mampu membeli pesawat TV berwarna dan pada saat itu pesawat hitam putih hanya dapat menerima saluran VHF.
Berdasarkan peraturan internasional yang berkaitan dengan pengaturan penggunaan frekwensi (Radio Regulation) untuk penyiaran televisi pada pita frekwensi VHF dan UHF.
Sesuai dengan sistem pertelevisian yang dianaut oleh indonesia yaitu CCIR B dan G maka penggunaan frekwensi tersebut telah diatur sebagai berikut :
VHF band I : saluran 2 dan 3VHF band III : saluran 4 s/d 11VHF band IV : saluran 21 s/d 37VHF band V : saluran 38 s/d 70
Sejarah pertelevisian di Indonesia diawali pada tahun 1962 oleh TVRI di Jakarta dengan menggunakan pemancar televisi VHF. Pembangunan pemancar TVRI berjalan dengan cepat terutama setelah diluncurkannya satelite palapa pada tahun 1975. Pada tahun 1987, yaitu lahirnya stasiun penyiaran televisi swasta pertama di Indonesia, stasiun pemancar TVRI telah mencapai jumlah kurang lebih 200 stasiun pemancar yang keseluruhannya menggunakan frekwensi VHF, dan pemancar TV swasta pertama tersebut diberikan alokasi frekwensi pada pita UHF.
Kebijaksanaan penggunaan pita frekwensi VHF untuk TVRI dan UHF untuk swasta pada saat itu dilakukan dengan beberapa pertimbangan yang menguntungkan negara sebagai berikut :
Jumlah saluran TV pada pita VHF yang jumlahnya hanya 10 saluran hampir seluruhnya telah digunakan untuk 200 stasiun pemancar terutama di pulau Jawa, maka pemancar TV swasta yang pertama dan berlokasi di Jakarta dialokasikan pada pita frekwensi UHF.
Pemancar VHF lebih ekonomis dan tidak berbeda kualitasnya dengan pemancar TV UHF sangat cocok untuk stasiun penyiaran pemerintah yang terbatas dana pembangunannya.
Kesinambungan pemeliharaan dan penggantian pemancar TVRI yang 70% adalah buatan LEN sangat didukung oleh hasil produksi LEN yang belum memproduksi pemancar UHF.
TVRI terus memperluas jangkauannya sampai ke pelosok tanah air dimana saat itu masih banyak masyarakat di daerah yang belum mampu membeli pesawat TV berwarna dan pada saat itu pesawat hitam putih hanya dapat menerima saluran VHF.
Daftar Pustaka
Sartono, FR Sri. 2008.
Teknik Penyiaran dan Produksi Program Radio, telivisi dan Film Jilid 1. Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: (PENERBIT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar