Selasa, 16 Juni 2015

Teknik Penyiaran



PEMBAHASAN


2.1 Teknik Penyiaran
Perkembangan teknologi komunikasi telah melahirkan masyarakat yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, termasuk penyiaran di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya semakin strategis, terutama dalam mengembangkan kehidupan demokratis.
Penyelenggaraan penyiaraan tentunya tidak terlepas dari kaidah-kaidah umum penyelenggaraan telekomunikasi yang berlaku secara universal. Penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit geostasioner yang merupakan sumber daya alam yang terbatas sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan efisien.
`           Dalam bab ini akan dibahas beberapa prinsip dasar teknis penyiaran yaitu jenis-jenis layanan siaran yang umumnya digunakan saat ini yang meliputi pengertian mengenai radio AM, radio FM, radio gelombang pendek (SW), televisi VHF dan televisi UHF. Namun sebelumnya kita perlu terlebih dahulu memahami pengertian singkat mengenai siaran, penyiaran dan hal apa saja yang menjadi syarat terjadinya penyiaran.
Kata ‘siaran’ merupakan padanan dari kata broadcast dalam bahasa Inggris. Undang-undang Penyiaran memberikan pengertian siaran sebagai pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.[1]
Sementara penyiaran yang merupakan padanan kata broadcasting memiliki pengertian sebagai: kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio (sinyal radio) yang berbentuk gelombang elektromagnetik[2] yang merambat melalui udara, kabel, dan atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.[3]
Dengan demikian menurut definisi di atas maka terdapat lima syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk dapat terjadinya penyiaran. Jika salah satu syarat tidak ada maka tidak dapat disebut penyiaran. Kelima syarat itu jika diurut berdasarkan apa yang pertama kali harus diadakan adalah sebagai berikut:
1. Harus tersedia spektrum frekuensi radio
2. Harus ada sarana pemancaran/transmisi
3. Harus adanya perangkat penerima siaran (receiver)
4. Harus adanya siaran (program atau acara)
5. Harus dapat diterima secara serentak/bersamaan
Dari kelima syarat penyiaran tersebut di atas hanya poin ke lima yang tidak kita bahas dalam buku ini karena hal tersebut sudah sangat jelas yaitu bahwa penyiaran harus dapat diterima secara serentak. Pada bab mengenai teknik penyiaran ini kita akan membahas tiga hal dari lima syarat penyiaran tersebut di atas yaitu mengenai spektrum frekuensi radio, sarana pemancaran atau transmisi dan perangkat penerimaan penyiaran. Sedangkan mengenai siaran atau program akan dibahas di bab tersendiri di buku ini yaitu mengenai program. Kita mulai pembahasan dengan spektrum frekuensi radio.

Stasiun Relay
Hukum alam menghendaki bahwa sebuah pemancar, betapapun besar daya pancarnya, memiliki jarak jangkau yang terbatas. RCTI misalnya, meskipun daya pancarnya sudah cukup besar (60 ribu watt) tetapi di kota Merak yang jaraknya hanya sekitar seratus kilometer dari Jakarta, siaran RCTI sudah sulit diterima dengan jelas. Kalau begitu bagaimana mungkin seseorang yang berada di Irian yang jaraknya lebih dari seribu kilometer dari Jakarta mampu menangkap siaran RCTI? Kenyataannya, banyak masyarakat di Irian yang bisa menerima siaran RCTI dengan baik. Lalu bagaimana caranya?
Caranya ialah dengan menggunakan Stasiun Relay. Setiap stasiun TV swasta nasional memiliki perangkat Up-Link yang berfungsi untuk memancarkan siarannya ke arah satelit. Kemudian oleh satelit siaran itu dipancarkan balik ke bumi dengan wilayah cakupan (foot print) yang sangat luas. Sinyal yang dipancarkan oleh satelit ini kemudian dengan mudah bisa ditangkap dengan menggunakan peralatan yang disebut TVRO (Television Receive Only).
Satu set TVRO terdiri dari: Antena Parabola, LNB, dan Satellite Receiver. Berhubung bagian yang paling menonjol adalah antena parabolanya, maka orang awam sering menyebut TVRO dengan sebutan Parabola saja. Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa untuk menerima siaran TV itu harus menggunakan Parabola? Ya, karena sinyal dari satelit yang sampai di bumi sangatlah lemah, sehingga perlu antena yang besar untuk menangkapnya. Antena yang besar ini kemudian didesain sedemikian rupa sehingga sinyal yang ditangkap dapat dikumpulkan ke satu titik yang disebut dengan titik api. Di titik api inilah kemudian sinyal yang masih lemah ini diperkuat lagi menggunakan sebuah amplifier.
Amplifier yang digunakan noisenya harus sangat rendah. Amplifier yang seperti ini disebut Low Noise Amplifier (LNA). Tapi mengapa harus low noise? Karena setiap amplifier disusun dari rangkaian penguat yang bertingkat-tingkat. Di setiap tingkat akan selalu muncul noise yang berasal dari dalam penguat itu sendiri. Noise yang muncul di tingkat pertama pasti akan diperkuat oleh penguat tingkat kedua, ketiga dan seterusnya. Jadi makin besar noise yang dihasilkan dari dalam penguat itu sendiri akan menjadi besar pula di tingkat paling akhir. Oleh karena itu noise yang muncul haruslah sangat rendah. Jika tidak, yang diperkuat bukannya sinyal input, tetapi malah noise itu sendiri. Jadi dengan amplifier yang low noise sinyal input bisa diperkuat dengan sedikit sekali tambahan noise. Kini sudah banyak LNA dengan noise yang sangat rendah (20 derajad Kelvin) sementara faktor penguatannya sangat besar (60 dB). Gain yang besar dan noise yang rendah merupakan syarat ideal untuk sebuah LNA.
Setalah sinyal dari satelit yang lemah tadi diperkuat oleh LNA, maka sinyal menjadi cukup kuat untuk di geser frekuensinya. Ssinyal dari satelit yang semula frekuensinya 3,7 - 4,2 GHz (C-band) digesar frekuensinya menjadi 950 - 1.450 kHz (L-band) dengan menggunakan osilator lokal 5.15 GHz. Penggesaran frekuensi dari C-band ke L-band ini dilakukan di dalam blok LNA, sehingga rangkaian LNA berikut rangkaian penggeseran frekuensi ini kemudian disebut dengan Low Noise Blok Amplifier (disingkat menjadi LNB). Pengeseran frekuensi dari C-band ke L-band dimaksudkan agar sinyal tersebut dapat disalurkan melalui kabel coaxial yang lebih panjang. Melalui kabel coaxial inilah sinyal tersebut kemudian dihubungkan ke pesawat penerima satelit atau IRD (Integrated Receiver Decoder). Penerima satelit umumnya diletakkan di dalam ruang (indoor) sedangkan LNB diletakkan di luar ruang (outdoor). Itulah sebabnya diperlukan kabel coaxial yang cukup panjunga untuk menghubungkan keduanya. Di dalam pesawat penerima, sinyal diperkuat lagi, digeser frekuensinya lagi dan di-demodulasi sehingga akhirnya menghasilkan sinyal audio dan video. Sinyal audio-video inilah yang kemudian di masukkan ke input pemancar dan selanjutnya dipancarkan agar bisa diterima oleh pesawat penerima televisi biasa. Itulah secara garis besar cara kerja dari sebuah Stasiun Relay TV.
Description: http://www.2wijaya.com/images/Relay_TV.jpg
Gambar (1): Diagram stasiun relay TV melalui satelit
Jangkauan Pemancar TV tidak seluas jangkauan satelit. Pemancar TV rata-rata hanya bisa menjangkau wilayah dalam radius sekitar 100 km, sedangkan satelit bisa menjangkau wilayah ribuan kilometer persegi. Satelit Palapa-D misalnya, bisa menjangkau seluruh Indonesia dan bahkan negara-negara tetangga seperti: Malaysia, Singapura, Brunei, Philipina, Thailand, Papua Nugini dan sebagian wilayah Australia. Itulah sebabnya TV nasional yang siaranya juga di up-link ke satelit bisa diterima di negara-negara tersebut dengan menggunakan TVRO.
Bila materi siaran memiliki hak cipta, misalnya film-film Hollywood, sedangkan hak siar yang dimiliki oleh stasiun TV hanya untuk wilayah Indonesia saja, maka materi siaran itu tidak boleh disiarkan ke negara-negara tetangga. Padahal pancaran sinyal dari satelit sudah pasti akan menjangkau negara-negara tetangga itu. Itulah sebabnya khusus untuk materi siaran yang memiliki hak cipta seperti itu, sinyal up link sengaja diacak (scrambled). Akibatnya siaran tersebut tidak bisa diterima oleh TVRO biasa. Hanya pesawat penerima (IRD) yang dilengkapi dengan fasilitas anti acak (de-scrambling) saja yang bisa menerimanya. Dengan kata lain hanya stasiun relay TV saja yang bisa menerima siaran itu, karena IRD-nya sudah dilengkapi dengan kartu de-scrambling. Stasiun relay kemudian akan memancarkan materi siaran itu ke wilayah jangkauannya. Jadi wilayah-wilayah yang berada di luar jangkauannya tidak akan bisa menerima materi siaran itu meskipun sudah memiliki parabola (TVRO). Demikian juga di negara-negara tetangga. Walaupun sudah memiliki parabola (TVRO) tetapi negara-negara tetangga tetap tidak bisa menerima siaran itu karena sinyalnya di acak.


[1] Lihat Ketentuan Umum, Pasal 1, Undang-undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
[2] Michael Faraday (1791-1867) dan James Clerk Maxwell (1831-1979) adalah dua ilmuwan asal Inggris yang mempelajari gelombang elektromagnetik yang merupakan gelombang untuk mengirim gambar dan suara dari satu tempat ke tempat lain. Sarjana Jerman Heinrich Rudolf Hertz (1857-1894) adalah ilmuwan pertama yang sukses melakukan percobaan transmisi gelombang elektromagnetik, walau masih dalam jarak terbatas. Namun lewat tangan ilmuwan Italia Guglielmo Marconi (1874 – 1937) sinyal radio sukses dikirim menyeberangi Samudera Atlantik pada tahun 1901. Lihat bab sejarah media penyiaran.
[3] Pasal 1, Undang-undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran


2.2   Frekuensi

REGULASI FREKUENSI
Spektrum Frekuensi Radio merupakan sumber daya alam yang terbatas yang mempunyai nilai strategis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan dikuasi oleh negara. Pemanfaatan Spektrum Frekuensi Radio sebagai sumber daya alam tersebut perlu dilakukan secara tertib, efisien dan sesuai dengan peruntukannya sehingga tidak menimbulkan gangguan yang merugikan.
Spektrum Frekuensi Radio adalah susunan pita frekuensi radio yang mempunyai frekuensi lebih kecil dari 3000 Ghz sebagai satuan getaran gelombang elektromagnetik merambat dan terdapat dalam dirgantara (ruang udara dan antariksa). Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia ditetapkan dengan mengacu kepada alokasi Spektrum Frekuensi Radio Internasional untuk wilayah 3 ( region 3 ) sesuai Peraturan Radio yang ditetapkan oleh Himpunan Telekomunikasi Internasional ( ITU ). Tabel alokasi frekuensi nasional Indonesia disusun berdasarkan hasil Final Act World Radio Communication Conference-1997 yang berlangsung di Jenewa, pada bulan November 1997.
Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia diambil dari referensi-referensi berikut ini :
Artikel S5, Frequency Allocation, Radio Regulation dan Final Act-World Radiocommunication Conference (WRC)-1997, International Telecommunication Union (ITU), Tabel Alokasi telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia, edisi pertama, 1996
Penetapan Frekuensi Maritim, Penerbangan dan Siaran di Indonesia
Penetapan Frekuensi Dinas Tetap di Indonesia
Database AFMS (Automated Frequency Management System).
Sebagai catatan bahwa pada tabel ini tidak mencakup penggunaan spektrum frekuensi radio untuk kepentingan militer.
REGULASI STANDARDISASI
Standardisasi sebagai suatu unsur penunjang pembangunan mempunyai peran penting dalam usaha optimasi pendayagunaan sumber daya dan seluruh kegiatan pembangunan. Perangkat standardisasi termasuk juga perangkat pembinaan dan pengawasan sangat berperan dalam peningkatan perdagangan dalam negeri dan internasional, pengembangan industri nasional, serta perlindungan terhadap pemakai (operator maupun masyarakat)
Tujuan akhir kegiatan standardisasi adalah terwujudnya jaminan mutu. Dengan demikian standardisasi dapat digunakan sebagai alat kebijakan pemerintah untuk menata struktur ekonomi secara lebih baik dan memberikan perlindungan kepada umum.
Standardisasi juga digunakan oleh Pemerintah untuk menunjang tercapainya tujuan-tujuan strategis antara lain peningkatan ekspor, peningkatan daya saing produk dalam negeri terhadap barang-barang impor, dan peningkatan efisiensi nasional.
Sistem Standardisasi Nasional (SSN) merupakan dasar dan pedoman pelaksanaan setiap kegiatan standardisasi di Indonesia yang harus diacu oleh semua instansi teknis sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standardisasi Nasional Indonesia dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standardisasi Nasional Indonesia. Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional, juga dilakukan pengembangan dan penerapan Sistem Standardisasi Nasional, juga dilakukan pengembangan dan penerapan standardisasi di bidang pos dan telekomunikasi.
Kegiatan standardisasi di bidang pos dan telekomunikasi sepenuhnya ditangani oleh instansi teknis, dalam hal ini adalah DIREKTORAT JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Direktorat Standardisasi Pos dan Telekomunikasi melalui rujukan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.58 tahun 1998 tentang Uraian Tugas Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Dan dalam pelaksanaannya, kegiatan standardisasi ini dilaksanakan oleh Direktorat Standardisasi Pos dan Telekomunikasi.
Subsistem-subsistem atau kegiatan-kegiatan yang saling terkait satu sama lain dalam Sistem Standardisasi Nasional terdiri dari perumusan standardisasi, penerapan standardisasi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerjasama dan informasi standardisasi, metrologi dan akreditasi.
Tujuan dari kegiatan standardisasi pos dan telekomunikasi adalah :
Pengamanan terhadap jaringan pos dan telekomunikasi, yang merupakan aset nasional.
Menjamin interoperabilitas dan interkonektivitas berbagai perangkat dalam jaringan pos dan telekomunikasi.
Memberi kesempatan munculnya industri manufaktur nasional.
Memberi perlindungan terhadap para pengguna jasa (operator dan masyarakat) pos dan telekomunikasi.
Mengendalikan mutu perangkat.
Memberi kesempatan produk nasional bersaing di pasar global.
Perumusan Direktorat Standardisasi Pos & Telekomunikasi
Perumusan Standardisasi Perangkat Telekomunikasi meliputi :
Persyaratan Teknis.
Rancangan Standardisasi Nasional Indonesia (SNI)
Daya Laku Bersifat Sektoral
Instansi Teknis Yang Memprakarsai RSNI Membantu BSN Dalam Perumusan Rancangan Dimaksud.
Daya Laku Bersifat Nasional
Persyaratan Teknis : 
Merupakan persyaratan-persyaratan teknis perangkat yang mengacu pada standardisasi Internasional (MIS.ITU, IEC/ISO, ETSI, dll).
Rancangan SNI :
Merupakan rancangan yang disusun bersama instansi terkait yang berkepentingan sampai tercapainya kosensus.
Daftar Persyaratan Teknis Perangkat SNI/KEPDIR Alat / Perangkat Postel
NO.
JUDUL PERSYARATAN TEKNIS/STANDARDISASI
NOMOR KODE
1
Kabel Serat Optik SLMT untuk Aplikasi di Udara
70/DIRJEN/99
2
Pesawat Telepon Umum Kartu Smart
57/DIRJEN/99
3
Digital Loop Carrier
58/DIRJEN/99
4
Pencatat Data Pembicaraan Telepon (PDPT)
59/DIRJEN/99
5
Perangkat Jarlokar CDMA (1895)
60/DIRJEN/99
6
Pesawat Sistem Telepon Kunci (KTS)
61/DIRJEN/99
7
PABX/ISDN
65/DIRJEN/99
8
Perangkat Sistem PABX/STLO
004/DIRJEN/99
9
Pesawat Telepon Umum Multi Koin
005/DIRJEN/99
10
Pesawat Telepon Analog
006/DIRJEN/99
11
Pesawat Reetifier
179/DIRJEN/98
12
Perangkat Pesawat Telepon Seluler NMT 450
180/DIRJEN/98
13
Perangkat Pesawat Telepon Seluler GSM
181/DIRJEN/98
14
Perangkat Pesawat Telepon Seluler AMPS
182/DIRJEN/98
15
Akses Radio
44/DIRJEN/98
16
STBS CDMA
47/DIRJEN/98
17
Wireless LAN
58/DIRJEN/98
18
PHS System
138/DIRJEN/97
19
Ketentuan Teknis Instalansi Kabel Rumah/Gedung (IKR/G)
22/DIRJEN/96
20
Pedoman Teknis Instalasi Kabel Rumah (IKR)
57/DIRJEN/96
21
Sentral Telepon Digital Kapasitas 5000 Subsriber
258/DIRJEN/
22
Handheld/Portable Trunking
03/DIRJEN/96
23
TTKP (Cordless Telephone)
130/DIRJEN/95
24
Facsimile
SNI 04-3508-1994
25
Modem Stand Alone
SNI 04-3509-1994
26
Kabel Tanah T Perisai, Berisolasi & Berselubung (PDPDLPE)
SNI 04-3633-1994
27
Telephone Otomat
SNI 04-2021-1991
28
Perangkat Pengganda Saluran AM
SNI 04-2380/1991
29
Perangkat Pengganda Saluran FM
SNI-2381-1991
30
Perangkat Pengganda Digital
SNI 04-2382-1991
31
Teleprinter
SNI 04-2009-1990
32
Kabel Telepon Tanah Tanpa Perisai Berisolasi PBB & BPBK Jeli
SNI 04-2012-1990
33
Saluran Penanggal Atas Tanah dengan Penggantung Kawat Baja
SNI 04-2066-1990
34
Kabel Tanah Tanpa Perisai Berisolasi & BPBP
SNI 04-2070-1990
35
Tiang Telepon Besi Enam Meter
SNI 04-2072-1990
36
Tiang Telepon Besi Tujuh Meter
SNI 04-2073-1990
37
Tiang Telepon Besi Sembilan Meter
SNI 04-2075-1990
38
Kabel Rumah Berisolasi dan Berselubung PVC
SNI 04-2076-1990
39
Kabel Telepon Rumah Berpelindung FB dan Berselubung PVC
SNI 04-2077-1990
40
Kabel Rumah BL Timah Putih,
SNI 04-2081-1990
41
Kabel Rumah Tiga Urat
SNI 04-2091-1990
42
Pesawat telepon Umum Coin (PTUMC)
89/POSTEL/90
43
VHF/UHF Radio dengan FM untuk Land Mobile Services
57/POSTEL/90
44
Frequeney Divisiom Multiplex Telegrap
72/POSTEL/90
45
Pesawat Teleprinter Elektronik
65/POSTEL/90
46
Pesawat Akomex (Adaptor Komputer-Telex)
66/POSTEL/90
47
Batere Alkali Nikel Kadmium Stasioner U Catu Daya CC-D
53/POSTEL/90
48
Sistem Pentanahan Perangkat Telekomunikasi
51/POSTEL/90
49
Pipa Potong dan Kelengkapannya
43/POSTEL/90
50
Kotak Pembagi Dalam (KPD)
33/POSTEL/90
51
Kabel Penanggal Bawah Tanah Berisi Petrojeli
25/POSTEL/90
52
Kabel Rumah BTLTP Berisolasi dan B.PVC
20/POSTEL/90
53
Kabel Tanah B.B dan Berselubung PBP
7/POSTEL/90
54
Pedoman Item Uji Alat/Perangkat Komunikasi Radio
007/DIRJEN/1999
55
Persyaratan Teknis Perangkat Amatir Radio
80/DIRJEN/1999
56
Persyaratan Teknis Perangkat Radio Komunikasi SSB/HF
84/DIRJEN/1999
57
Persyaratan Teknis Perangkat Radio Siaran
85/DIRJEN/1999
58
Persyaratan Teknis Perangkat Telepon Tanpa Kabel Umum
86/DIRJEN/1999
59
Penetapan Penggunaan Frekuensi Radio Untuk Penyelenggaraan Jasa Telekom Satelit MSS
013/DIRJEN/1998
Penerapan
Penerapan Standardisasi merupakan kegiatan sertifikasi perangkat telekomunikasi yang dilaksanakan untuk mengetahui kesesuaian perangkat telekomunikasi dengan persyaratan teknis yang berlaku.
Tahapan kegiatan sertifikasi : 1. Pemeriksaan persyaratan  2. Pengujian 3. Evaluasi 4. Penerbitan Sertifikat
(http://www.postel.go.id/artikel_c_3_p_93.htm diakses pada tanggal 7 desember 2014)
Description: pembagian kanal.jpg

Description: band frekuensi.jpg

2.4         Analisis Stasiun TVRI

PENGGUNAAN PEMANCAR VHF OLEH TVRI
Berdasarkan peraturan internasional yang berkaitan dengan pengaturan penggunaan frekwensi (Radio Regulation) untuk penyiaran televisi pada pita frekwensi VHF dan UHF.

Sesuai dengan sistem pertelevisian yang dianaut oleh indonesia yaitu CCIR B dan G maka penggunaan frekwensi tersebut telah diatur sebagai berikut :
VHF band I : saluran 2 dan 3VHF band III : saluran 4 s/d 11VHF band IV : saluran 21 s/d 37VHF band V : saluran 38 s/d 70
Sejarah pertelevisian di Indonesia diawali pada tahun 1962 oleh TVRI di Jakarta dengan menggunakan pemancar televisi VHF. Pembangunan pemancar TVRI berjalan dengan cepat terutama setelah diluncurkannya satelite palapa pada tahun 1975. Pada tahun 1987, yaitu lahirnya stasiun penyiaran televisi swasta pertama di Indonesia, stasiun pemancar TVRI telah mencapai jumlah kurang lebih 200 stasiun pemancar yang keseluruhannya menggunakan frekwensi VHF, dan pemancar TV swasta pertama tersebut diberikan alokasi frekwensi pada pita UHF.

Kebijaksanaan penggunaan pita frekwensi VHF untuk TVRI dan UHF untuk swasta pada saat itu dilakukan dengan beberapa pertimbangan yang menguntungkan negara sebagai berikut :
Jumlah saluran TV pada pita VHF yang jumlahnya hanya 10 saluran hampir seluruhnya telah digunakan untuk 200 stasiun pemancar terutama di pulau Jawa, maka pemancar TV swasta yang pertama dan berlokasi di Jakarta dialokasikan pada pita frekwensi UHF.
Pemancar VHF lebih ekonomis dan tidak berbeda kualitasnya dengan pemancar TV UHF sangat cocok untuk stasiun penyiaran pemerintah yang terbatas dana pembangunannya.
Kesinambungan pemeliharaan dan penggantian pemancar TVRI yang 70% adalah buatan LEN sangat didukung oleh hasil produksi LEN yang belum memproduksi pemancar UHF.
TVRI terus memperluas jangkauannya sampai ke pelosok tanah air dimana saat itu masih banyak masyarakat di daerah yang belum mampu membeli pesawat TV berwarna dan pada saat itu pesawat hitam putih hanya dapat menerima saluran VHF.

Daftar Pustaka


Sartono, FR Sri. 2008. Teknik Penyiaran dan Produksi Program Radio, telivisi dan Film Jilid 1. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: (PENERBIT)

(http://www.postel.go.id/artikel_c_3_p_93.htm diakses pada tanggal 7 desember 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar