Selasa, 16 Juni 2015

Aktifis sebagai Komunikator Politik


Aktifis sebagai Komunikator Politik

Pengertian: orang yang terjun ke dalam politik sebagai volunteer atau sukarelawan. Menyampaikan berita ke orang.

2 jenis aktivis:
1.      Juru bicara kepentingan yang terorganisir (untuk penyambung lidah)
2.      Pemuka pendapat. Fungsinya meyakinkan, meneruskan informasi.
Kasus:
            Aktivis Arief Poyuono memimpin sebuah lembaga survey yang bernama Indonesia  Network Electronic Survei (INES) tgl 20 Pebruari 2014. iNES mengeluarkan survey bahwa Prabowo (Gerindra) memiliki elektabilitas yang tinggi daripada kandidat capres yang lain.

Politikus sebagai Komunikator Politik

Dan Nimmo (1989) (ini aku gk sempet nyatet soalnya cepet bgt mereka ngomongnya)

Politikus : pemegang jabatan pemerintah yang tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk

2 hal berbeda berkenaan dengan sumber kejuangan menurut Daniel Katz:
1.      Politikus ideolog : lebih memperjuangkan kepentingan bersama
2.      Politikus partisan : lebih memperjuangkan kepentingan seorang atau kelompoknya saja

Para pejabat eksekutif : presiden, menteri,
Para pejabat legislative : ketua MPR, DPR, DPD, fraksi, anggota2
Para pejabat yudikatif : ga sempet nyatet

Contoh kasus:
Debat TV One tntg gebakan masa setahun jabatan JOKOWI-AHOK apakah prestasi atau kontroversi.
Simbolon PDI : partisan, karna partai yang mendukungnya.
Gerindra: memiliki kepentigan parpol
Igo ilham : melihat secara umum

Kepemimpinan

Proses ketika seorang individu secara konsisten

Gaya kepemimpinan
1.      Gaya otokratis
2.      Gaya demokratis
3.      Gaya laissez faire

Kasus
Bu risma yang masuk ke dalam teori 1 variasi ke 2


Ketidakpastian Dalam Peran Komunikator Politik Kontemporer

Peran mereka dalam mempengaruhi orang lain, dan sifat-sifat mereka sebagai pemimpin politik. Menutup pembahasan “siapa” (yang mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan akibat-akibat apa) ini dengan memperkenalkan tiga bidang ketidakpastian dalam kegiatan komunikator politik.
 Yang pertama berurusan dengan masalah profesionalisme. Beberapa orang sarjana dalam tahun-tahun terakhir ini bertambah khawatir bahwa para komunikator politik telah meninggalkan klien, pemilih, dan khalayak mereka disebabkan oleh kesetiaan kepada nilai-nilai impersonal dan profesional. Alasan fundamental mereka ialah bahwa profesionalisme mendukung pemerintah yang lebih baik dengan menekankan teknik-teknik intelektual, penerapan keseluruhan pengetahuan secara sistematis, pertanggungjawaban pribadi profesional terhadap penilaian dan tindakan, tekanan pada pelayanan dan bukan pada keuntungan ekonomis pribadi, dan standar etika yang jelas untuk mengukur prestasi. Tekanannya adalah pada formalisasi dan penstrukturan hubungan pemimpin-pengikut sehingga komunikator hanyalah “melaksanakan” rencana komunikasi-suatu pidato standar di depan khalayak kampanye, lunak dan tidak menyatakan pendapat.
Bidang masalah kedua timbul dari karateristik para komunikator. Ciri-ciri sosial para komunikator poitik utama jarang merefleksikan orang kebanyakan Amerika. Prewitt,  “paradoks yang rumit tentang bagaimana pemimpin publik dapat ‘berbeda’ namun sekaligus ‘mewakili’ berbeda dalam arti bahwa mereka tidak seperti penduduk darimana ia dipilih, namun mewakili dalam arti bahwa ia bagaimanapun bertindak sesuai dengan yang lebih disukai oleh rakyat itu.
Dalam beberapa hal mereka bertujuan-mereka bermaksud mengubah kepercayaan, nilai, dan pengharapan rakyat dengan memberi informasi, membujuk, dan menghibur. Dalam hal-hal lain motif mereka tak bertujuan-mereka meneruskan pesan-pesan kepada rakyat tanpa maksud mempengaruhi.

Contoh Kasus
Dalam kasus BBM, SBY mempermasalahkan krisis pangan di luar negeri sebagai alibi seakan-akan kesalahan itu di luar negeri padahal terjadi di dalam negeri juga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar