Dua Mata Pisau Media: Antara Konvergensi dan Konglomerasi
Konglomerasi
media adalah isu yang hari ini paling diperbincangkan dalam kajian komunikasi
dan media. Pemusatan kepemilikan media yang terdiri dari berbagai kanal
informasi, berimbas pada tenggelamnya keberagaman pemberitaan yang diterima
masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan ranah publik kita menjadi semakin
sempit, bahkan bias. Berita penting dan berita tidak penting bukan lagi
bergantung pada kepentingan publik, melainkan telah dirumuskan di meja redaksi
untuk membentuk opini publik yang menguntungkan pemilik media tersebut.
Konglomerasi
media adalah perampasan hak warga negara sah secara serampangan. Ketika media
telah bertransformasi menjadi bisnis yang menjanjikan sejak 1990-an , kecenderungan
untuk mengelola media dan pemberitaannya secara sangat pragmatis jauh lebih
besar daripada memikirkan idealisme dan kepentingan masyarakat banyak.
Media
menggunakan frekuensi publik—milik negara—untuk keuntungan tubuhnya sendiri.
Sementara masyarakat dikhianati dengan berbagai kebohongan dan rekayasa dibalik
topeng manis pemberitaan yang disuguhkan.
Konglomerasi
media sudah ada sejak zaman Soeharto berkuasa. Namun konglomerasi pada waktu
itu dimaksudkan untuk memperluas ekspansi dan melindungi pekerja media dari
kehilangan pekerjaan. Jika salah satu kanal perusahaan ditutup, pekerja media
bisa diarahkan ke kanal lain di perusahaan yang sama. Tetapi praktik ini masih
dipertahankan sampai sekarang, di zaman kebebasan pers dan media.
Maka
fenomena perkembangan media dan informasi di Indonesia beberapa tahun
kebelakang adalah sebuah ironi yang disyukuri beberapa kalangan saja. Bangsa
ini memang belum siap diterpa arus globalisasi. Kultur dan cara berpikir kita
masih tradisionil. Tetapi globalisasi dengan cepat mengisi ruang dan waktu. Dan
seperti waktu, ia tidak pernah berhenti. Hanya yang bermental gagap yang akan
tergerus.
Kemajuan
teknologi mau tidak mau melahirkan ‘bayi’ baru bernama konglomerasi.
Konvergensi media sebagai dampak langsung dari pesatnya teknologi lama-kelamaan
menjelma menjadi konglomerasi. Ranah publik sebagai bagian dari terpenuhinya
kebutuhan masyarakat akan informasi dan interaksi, semakin dipersempit.
Sebelumnya,
televisi dan radio komunitas yang mengudara di daerah-daerah berfungsi dengan
baik sebagai jembatan tuntutan dan kebutuhan masyarakat daerah, yang tidak bisa
disajikan oleh televisi nasional. Tetapi belakangan, media-media lokal tersebut
tumbang dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan besar media. Konvergensi media
sebagai strategi meraup keuntungan justru mengkhianati visi awal kebebasan
media, yakni menegakkan demokrasi.
sumber : http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/03/14/dua-mata-pisau-media-antara-
konvergensi-dan-konglomerasi--542170.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar